Hadist Pada Zaman Sahabat



Hadist Pada Zaman Sahabat (Khulafa ar-Rasyidin)
Sahabat adalah orang yang pernah bertemu Nabi Saw dan beriman kepada beliau. Sahabat Besar (Kibar Sahabat) berarti sahabat yang sering bersama Nabi Saw, dan banyak belajar dari beliau seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab. Sahabat Kecil (Shighar Sahabat) adalah para sahabat yang pernah bertemu dengan Nabi Saw kemudian beriman di hadapan beliau. Namun karena satu sebab mereka jarang bertemu Nabi, ataupun berada di kota lainnya dan lainya.
Setelah wafatnya Rasulullas Saw, sahabat Nabi yang pertama menjadi khalifahh adalah Abu Bakar ash-Shiddiq (wafat 13 H/634 M), kemudian disusul oleh Umar bin Khaththab (wafat 23 H/644 M), Ustman bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/611 M). keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-Khulafau al-Rasyidin dan periodenya disebut dengan zaman sahabat besar (Kibar Sahabat)
Sesudah Ali bin Abi Thalib wafat, maka berakhirlah era sahabat besar dan menyusul era sahabat kecil. Dalam masa itu muncullah tabi’in besar yang bekerja sama dalam perkembangan pengetahuan dengan para sahabat Nabi yang masih hidup pada masa itu. Di antara sahabat Nabi yang masih hidup setelah periode Khulafa al-Rasyidin dan yang cukup besar peranannya dalam periwayatan hadis diantaranya: ‘Aisyah (W. 57 H/677 M), Abu Hurairah (W. 58 H/678 M), Abdullah bin Abbas (w 68 H/687 M), Abdullah bin Umar bin Khattab (W. 73 H/692 M), dan Jabir bin Abdullah (W. 78 H/697 M)

Para Sahabat Sangat Berhati-hati Dalam Meriwayatkan Hadist
Abu Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama-tama menunjukkan kehati-hatiannya dalam periwayatan hadis. Pernyataan al-Dzahabi ini didasarkan sikap Abu Bakar ketika dihadapai satu kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang nenek menghadap kepada khalifah Abu Bakar, meminta hak waris dari harta ynag ditinggalkan oleh cucunya. Abu Bakar menjawab bahwa dia tidak melihat petunjuk al-Qur’an dan praktek Nabi yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar lalu bertanyaa kepada para sahabat. Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi telah memberikan bagian waris kepada nenek sebesar seperenam (1/6) bagian. Al-Mughirah mengaku hadir ketika Nabi menetapkan demikian itu. Mendengar pernyataan tersebut, Abu Bakar meminta agar al-Mughirah menghadirkan seorang saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian atas kebenaran pernyataan Mughirah itu. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam bagian berdasarkan hadis Nabi yang disampaikan Mughirah tersebut.
Kasus dia atas menunjukan, bahwa Abu Bakar tidak segera menerima riwayat hadis, sebelum meneliti periwayatannya. Jika ternyata ada seorang sahabat pernah mendengar hukumnya dari Nas Saw, maka ia harus menghadirkan seorang saksi.

Seruan Umar Agar Teliti Meriwayatkan Hadist
Sebagaimana Abu Bakar, khalifah selanjutnya, Umar bin al-Khaththab juga terkenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadis. Hal ini terlihat misalnya, ketika Umar mendengar hadis yang disampaikan oleh Ubay bin Ka’ab, Umar baru bersedia menerima hadis dari Ubay, setelah para sahabat yang lain, seperti Abu Dzar menyatakan telah mendengar pula hadis Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya Umar berkata kepada Ubay :
”Demi Allah, sungguh saya tidak menuduhmu telah berdusta. Saya bertindak demikian karena saya ingin berhati-hati dalam periwayatan hadis Nabi”.

Selain itu, Umar juga menekankan kepada para sahabatnya agar tidak meriwayatkan hadis di masyarakat. Alasannya, agar masyarakat tidak terganggu konsentrasinya untuk membaca dan mendalami Al-Qur’an.
Alasan lainnya adalah karena dengan meriwayatkan hadist ketika, jika tidak berhati-hati akan menyebabkan banyak kesalahan dalam periwayatan dan ini bersumber pada sabda Nabi Saw sendiri:
“Seorang dianggap pembohong jika membicarakan (meriwayatkan) sesuatu yang didengarnya (jika tidak benar).” (HR. Muslim)
Hal lain yang menyebabkan ketatnya penerimaan hadist oleh kedua khalifah ini, karena ditakutkan hadist itu diriwayatkan dengan tidak benar, tergesa-gesa sehingga menyebabkan kesalahan dalam periwayatan. Jika riwayat itu salah maka hal itu dianggap pembohong, dan membohongi Nabi sendiri. Ancaman Nabi Saw bagi yang membohongi dirinya adalah neraka seperti ancaman beliau Saw:

“Barang siapa membohongi diriku, maka bersiaplah tempat duduknya dari api neraka.” (HR. Bukhari)

Implikasi Seruan Dua Khalifah
Kehatian-hatian dua orang khalifah ini, atau bisa dikatakana sangat hati dalam menjaga dan melestarikan hadist akhirnya memumpayai implikasi positif. Dalam arti bahwa semua sahabat yang mendengar dari Nabi Saw (hadist) haruslah teliti. Sehingga otensitas hadist akhirnya bisa terjaga dan interpreatsi pemahaman hadist akhirnya tidak terlalu lebar khususnya bagi generasi Islam selanjutnya.
Seruan ini tidak saja hanya berlaku bagi para sahabat, bahkan pata tabi’in pun sangat berhati dalam meriwayatkan atau menerima sebuah hadist dan keharusan adanya saksi terlebih dahulu. Bahkan di majelis-majelis ilmu tidak dibenarkan meriwayatkan hadist lebih dari tiga atau empat hadist. Agar supaya para santri/mahasiswa/ tholib dapat memahami hadist dengan baik dan mencernanya dengan sempurna.
Bahkan sering dikatakan sebuah anekdot jika ada orang yang banyak meriwayatkan hadist dengan tidak teliti:
“Orang yang meriwayatkan hadist, sesungguhnya dia memasukan sesuatu antara Allah dan orang itu, dan lihat saja apa yang dimasukannya (maksudnya setan).”

Pelestarian Hadist dibawah Pimpinan Utsman dan Ali
Dua khalifah ini, sebagaimana dua khalifah sebelumnya, sangat teliti pula dalam menjaga, melestarikan hadist dan ketat sekali dalam periwayatan.
Namun tindakan khalifah Utsam dan Ali tidak seketat dua pendahulunya, karena dimungkinkan beberapa sebab:
Meluasnya wilayah Islam dan banyak mayarakat daerah penaklukan masuk Islam, dengan demikian dibutuhakan tenaga pengajar untuk mengajar (Hadist ketika itu adalah sumber pengajaran Islam selain Qur’an).
Boleh dikatakan pula sulit mengontrol periwayatan hadist setelah daerah kekuasaan Islam terbentang luas.
Khalifah Utsman lebih sedikit meriwayatkan hadist yang terdapat dalam kitab-kitab hadist saat ini. Karena mungkin sekali kegiatan pencatatan Qur’an menjadi kagiatan utama yang dilakukan beliau selain menghadapi bebrbagai masalah. Sehingga waktu pengajaran beliau sangat sediit dibanding ketiga Khalifah lainnya.
Sedangkan Ali bin Abi Thalib banyak meriwayatkan hadist.

Sikap Para Sahabat Lainnya Terhadap Hadist

1. Para Sahabat yang banyak meriwayatkan Hadist
Namun ada beberapa sahabat yang banyak pula meriwayatkan hadist diantaranya Abu Hurairah, Ibnu Mas’ud, Siti A’isyah, Abu Darda, Abu Dzar Al-Ghifari. Namun para sahabat ini tidak sembarangan menriwayatkan tanpa ketelitian.
Abu Hurairah misalnya pernah ditanya ketika diketahui ia banyak meriwayatkan hadist:” Apakah kamu bersama kami ketika Nabi Saw berada di tempat ini? (Maksudnya: Abu Hurairah adalah sahabat yang hanya 2 tahun saja bersama Nabi sebelum beliau wafat. Dan ia ditanya agar memastikan bahwa hadist yang diriwayatkan benar-benar dari Nabi atau bukan hadist palsu. Pen) Abu Hurairah,” Benar! Aku mendengar Nabi Sae bersabda: Barang siapa berbohong atas namaku, maka bersiaplah bahwa tempat duduknya kelak dari apai neraka.”
Begitu pula dengan siti A’isyah meskipun dikenal banyak meriwayatkan hadist, namun ia menolak jika hadist itu bertentangan dengan Qur’an.
Ketika ia mendengar hadist yang menyatakan bahwa orang mati itu diadzab Tuhan karena ditangisi keluarganya. Bunyi hadis itu. ‘:”… sesungguhnya orang mati itu diadzab karena tangis keluarganya …”
Aisyah menolak hadis itu dengan nada tanya :”Apakah kalian lupa firman Allah : … seseorang tidak akan menanggung/memikul dosa orang lain

2. Sahabat Yang Sedikit Meriwayatkan Hadist
Beberapa sahabat yang termasuk sedikit dalam meriwayatkan hadist ketika itu Zaid Ibn Arqam, Zubair ibn ‘Awam, ‘Imran ibn Hashin, Anas Bin Malik, Saad bin Abi Waqqas dan lainnya.
Anas bin Malik pernah berkata, sekiranya dia tidak takut keliru niscaya semua apa yang telah didengarnya dari Nabi dikemukakan pula kepada orang lain. Pernyataan Anas ini memberi petunjuk bahwa tidak seluruh hadis yang pernah didengarnya dari Nabi disampaikannya kepada sahabat lain atau kepada tabi’in, dia berlaku hati-hati dalam meriwayatkan hadist.
Saad bin Abi Waqqash (w. 55 H/675 M), pernah ditemani oleh al-Sa’ib bin Yazid italics dalam perjalanan dari Makkah ke Madinah pergi-pulang. Selama dalam perjalanan, Sa’ad tidak menyampaikan sebuah hadis pun kepada al-Sa’ib. Apa yang dilakukan Sa’ad itu tidak lepas dari sikap hati-hatinya dalam periwayatan hadist
Sikap hati-hati para sahabat Nabi tersebut bukan hanya ketika menyampaikan hadis saja, melainkan juga ketika menerimanya. Tidak jarang seorang sahabat terpaksa menempuh perjalanan yang sangat jauh hanya untuk mendapatkan atau mencocokkan sebuah hadis saja.

Rihlah Ilmiah Para Sahabat Dalam Mencari Ilmu (Mencari Hadist)
Para sahabat, yang pernah bersama Nabi Saw baik dalam keadaan suka dan duka, yang tahu turunya wahyu, mereka pula murid-murid langsung dari Rasulullah Saw, tidak pernah lelah dalam mencari ilmu. Mencari ilmu ketika itu adalah dengan mendengar atau mencari hadist, karena hadist adalah sumber ilmu, selain sebagai penafsir Qur’an.
Abu Ayyub Anshari misalnya yang bertempat di MaAdinah pernah mendatangi Uqbah bin ‘Amir di Mesir hanya untuk menanyakan satu hadist saja.
Begitu pula dengan Jabir bin Abdullah seperti yang tercantum dalam riwayat Bukhari, bahwa ia pernah berjalan sebulan penuh dari Madinah ke Syam (Jordan, Syria sekarang) hanya untuk mencari satu hadist saja yang belum ia dengar sebelumnya.
Begitu pula dengan sahabat lainnya, mereka banyak belajar pula dari sahabat lainnya tanpa malu-malu
M. Thoyib HM

terkadang kehidupan dunia membuat kita lalai dalam mengerjakan apa yang telah menjadi sebuah kewajiban untuk akhirat

Post a Comment (0)
Previous Post Next Post